*Barisan Masyarakat Bersih dari Korupsi (BASMI) Provinsi Riau akan laporkan sejumlah Pejabat PUPR dan Pejabat Sekda Meranti ke Kejati Riau*
Meranti – Detikappi.com
Publik masih terus menyoroti atas amburadul dan hancurnya pengelolaan APBD Meranti dalam kurun waktu 2023 hingga 2025.
Siapa yang bermain dengan uang APBD?
Kemana saja perginya anggaran tahun 2023 hingga 2025, ditambah dengan adanya TEMUAN BPK-RI di beberapa OPD terhadap audit kepatuhan atas penyelenggaraan keuangan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sejak tahun 2023 hingga 2024 yang lalu serta tiadanya keterbukaan terkait Hasil Tindak Lanjut dari Audit BPK-RI tersebut. Sehingga setiap tahunnya terjadi lagi permasalahan yang hampir sama, Selasa (29/07/2025).
Berdasarkan Pasal 1 ayat (22) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, menyatakan bahwa kerugian negara adalah : Kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik SENGAJA maupun LALAI.
Pasal 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dengan jelas menyatakan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Perlu diketahui sesuai Pasal 102 KUHAP menyatakan,
“Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”. Begitu juga kaitannya dengan Pasal 106 dan Pasal 107 KUHAP.
Jika terjadi suatu tindak pidana sudah diketahui oleh seseorang, namun tidak melaporkan ke pihak berwajib, dapat dituntut Pasal 164 dan 165 serta pasal 221 KUHP tentang pembiaran atau tidak melaporkan terjadinya suatu tindak pidana. Disamping itu bisa juga dituntut Pasal 56 dan 421 KUHP.
Perlunya dilakukan penyelidikan dan penyidikan sebagai penegakan hukum atas banyaknya terjadi pelanggaran hukum terhadap pengelolaan keuangan terhadap pemerintah daerah kabupaten Kepulauan Meranti. Kemana saja anggaran APBD tahun 2023 hingga 2025 digunakan. Apakah untuk kepentingan masyarakat atau untuk oknum pribadi tertentu. Berdasarkan realitas tingginya dugaan KKN dalam penggunaan APBD selama Tahun 2023 hingga 2025 ini.
Penegak Hukum harus menyelidiki :
a. Proses PERENCANAAN dan PENGANGGARAN selanjutnya realisasi pekerjaan hingga terkait proses pencairannya.
b. SURAT PERTANGGUNGJAWABAN. Dalam audit kepatuhan terhadap aturan perundangan, BPK-RI telah menemukan banyaknya pertanggungjawaban atas realisasi Belanja Barang dan Jasa melalui mekanisme UP/GU tidak sesuai dengan ketentuan sehingga berdampak merugikan keuangan negara dan ekonomi masyarakat.
c. KUALITAS dan VOLUME serta HARGA SATUAN tidak sesuai ketentuan. BPK-RI juga banyak menemukan ketidaksesuaian kualitas dan volume pekerjaan, ketidaktepatan atas penyesuaian harga satuan.
d. Adanya ketidaksesuaian SPESIFIKASI. BPK-RI juga menemukan adanya ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dalam pelaksanaan Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan, yang mengakibatkan kelebihan pembayaran.
e. Sistem PENGADAAN yang kurang transparan dan sarat KKN.
Atas dasar itu, Barisan Masyarakat Bersih dari Korupsi (BASMI) Provinsi Riau menyatakan akan melaporkan sejumlah pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) serta pejabat di lingkungan Sekretariat Daerah Meranti ke Kejaksaan Tinggi Riau. Ketua BASMI Provinsi Riau Fadli Akbar ketika dikonfirmasi media, menegaskan pelaporan ini merupakan bentuk dorongan kepada aparat penegak hukum agar segera menindaklanjuti berbagai dugaan tindak pidana korupsi yang hingga kini belum tersentuh hukum.
“Secara resmi ke penegak hukum tersebut berkaitan dengan beberapa kasus penyelewengan dan Temuan serta Tindak lanjut dari Temuan BPK yang hingga kini menyisakan pertanyaan besar. Secara resmi belum ada satupun bukti autentik yang menjadi dasar atas telah selesainya tindak lanjut temuan BPK tersebut dalam kurun beberapa tahun ini, dikarenakan telah memasuki batas waktu 60 hari baik berbentuk Dokumen atau Surat Resmi dari BPK-RI yang menyatakan apa-apa saja yang telah menjadi temuan tersebut TELAH SELESAI ditindaklanjuti oleh ENTITAS secara utuh dan menyeluruh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Baru sebatas katanya bukan datanya apalagi faktanya,” katanya.
Lebih lanjut, Fadli mengatakan, Selain itu adanya indikasi keterlibatan pejabat PUPR dan Sekretariat Daerah dalam kasus yang pernah ditangani oleh KPK. Sama-sama diketahui sebagaimana yang diungkap oleh Jaksa Penuntut KPK dan Keterangan saksi sesuai fakta persidangan kasus Korupsi dan Gratifikasi terdakwa Muhammad Adil tahun 2022, dalam hal ini keterangan saksi termasuk Dinas PUPR Kepulauan Meranti dan Sekretariat Daerah Kepulauan Meranti benar melakukan setoran (gratifikasi) dengan besarannya masing-masing. Hal ini sesuai dengan asas hukum “Judeg debet judicare secundum allegata et probata” (Seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan)”.
“Adanya dugaan perusahaan yang terkesan memonopoli pekerjaan, dimana adanya indikasi keterkaitan dengan Pejabat di Dinas PUPR. Disamping itu adanya beberapa pengadaan di Bagian Umum Sekretariat Daerah dalam beberapa tahun anggaran yang disinyalir terjadinya indikasi tindak pidana korupsi. Jika tak ada halangan Rabu besok akan kita laporkan secara resmi tegas Fadli menutup pembicaraan,” terangnya.
Senada dengan itu, menurut Ade Permana penggiat anti korupsi Riau juga menyampaikan, dalam rangka mewujudkan Asta Cita Presiden Prabowo sudah sepatutnya segala elemen masyarakat dan mahasiswa merapatkan barisan dengan masyarakat untuk melaporkan beberapa dugaan kasus Korupsi yang ada di Riau khususnya di Kepulauan Meranti. Hal ini tidak lain disebabkan Kepulauan Meranti sudah termasuk “daerah darurat korupsi” dikarenakan banyaknya permasalahan hukum terkait adanya indikasi penyelewengan dan tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat teras nya yang tidak tersentuh hukum, serta hilangnya beberapa kasus ditengah jalan yang diduga telah terjadinya penyelesaian hukum secara pribadi diluar jalur proses hukum.
“Hal ini patut dipertanyakan juga ketika sudah terpenuhinya minimal 2 alat bukti untuk dilakukan penyelidikan, diantaranya : pertama, adanya beberapa dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) yang diduga terjadinya penyelewengan dan pelanggaran hukum. Kedua, adanya bukti SPJ kegiatan yang diduga Fiktif atau Mark-Up sehingga tak mampu dipertanggungjawabkan yang berimplikasi merugikan keuangan negara dan tidak sesuai dengan realisasi. Ketiga, adanya kesaksian dari Pejabat yang berwenang bahwa benar ada terjadinya dahulu pekerjaan dilakukan daripada kontraktual ditandatangani”, ujar Ade Permana lagi.
Lanjutnya lagi, Pasal 183 KUHP menekankan pentingnya pembuktian yang kuat dan keyakinan dalam proses peradilan pidana ketika adanya minimal 2 alat bukti. Institusi Penegak Hukum bukan lembaga pencitraan atau lembaga sosial tapi lembaga yang tugas pokok dan fungsinya penegakan hukum, jangan lupa akan itu”, lanjut Ade menutup pembicaraannya.
Supremasi hukum dan Asta Cita Presiden harus ditegakkan
Kejaksaan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2021 berwenang melakukan penyelidikan terhadap terjadinya tindak pidana termasuk Korupsi. Disamping itu juga sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, dan Perpres Nomor 15 Tahun 2024.
Disebutkan dalam Pasal 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, jelas menyatakan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana BPK segera melaporkan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Patut diketahui, jika ada unsur terjadinya suatu tindak pidana korupsi atas laporan masyarakat sesuai aturan perundangan, Aparat Penegak Hukum harus menindaklanjutinya. Jika tidak, hal tersebut dapat disamakan sebagai perbuatan “Obstruction of Justice” (menghambat suatu proses hukum) berdasarkan Pasal 221 ayat (1) KUHP dan dalam Pasal 21 UU tentang Pemberantasan Tipikor.
Publik berpendapat Oknum Pejabat Meranti adalah SAKTI, sehingga HUKUM tak mampu menyentuh atas banyaknya dugaan perkara korupsi yang terjadi. Seolah-olah Penegak Hukum mati suri, tanpa ada upaya memproses terjadinya dugaan Tindak Pidana Korupsi sesuai amanat Pasal 102, pasal 106 dan pasal 107 KUHP. Apakah hukum di Kepulauan Meranti hanya menyasar masyarakat biasa kelas bawah saja, untuk pejabat atau penyelenggara negara tidak berlaku. Atau adakah aliran uang yang mengalir dari oknum pejabat kepada penegak hukum sehingga hukum dan keadilan terbeli dan kalah oleh lembaran rupiah.?
Perlu jadi catatan bersama, dalam kasus pidana korupsi, alasan terpaksa atau dipaksa oleh atasan tidak menggugurkan pertanggungjawaban pidana. Meskipun ada pasal dalam KUHP yang mengatur tentang “perintah jabatan” sebagai alasan penghapus pidana (Pasal 51 KUHP), penerapannya dalam kasus korupsi memerlukan pembuktian yang cermat dan memenuhi syarat tertentu.
Diantara syarat tersebut, Pelaku tidak mempunyai pilihan lain selain menjalankan perintah tersebut karena ancaman kehilangan nyawa dan kehormatan serta keselamatan jiwa, sedangkan dalam kasus Haji Adil kemaren masih banyak pilihan lain yang dilakukan. Diantara selain melaporkan ke pihak penegak hukum (sesuai pasal 108 KUHP) juga menghindari dan menolaknya, karena berdasarkan fakta yang diketahui masyarakat luas banyak pejabat sebelumnya yang menolak untuk melakukan perintah tersebut.
Untuk diketahui, jika oknum pejabat saat itu yang menjadi saksi tidak melaksanakan perintah tersebut dapat dipastikan kejahatan Korupsi, Gratifikasi dan TPPU tersebut tidak akan pernah terjadi. Harus diingat juga tindak pidana korupsi terjadi karena adanya kerjasama beberapa orang dan tidak bisa dilakukan oleh hanya satu orang (koorporasi).
Pasal 110 KUHP berbunyi : “Permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 104, pasal 106, pasal 107, dan pasal 108 KUHP dipidana sama dengan perbuatan itu dilakukan”. Begitu juga Pasal 23 UU Tipikor dan Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)yang berbunyi : “Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Dengan demikian, dalam konteks tindak pidana korupsi, siapapun yang terlibat dalam tindakan korupsi, baik atasan maupun bawahan, tetap bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing di mata hukum.
Kewajiban Melaporkan tindak pidana dan Ancaman Obstruction of Justice
Berdasarkan Pasal 108 KUHAP mewajibkan setiap orang termasuk pegawai negeri yang mengetahui terjadinya dugaan tindak pidana untuk segera melapor kepada penyelidik atau penyidik. Begitu juga amanat dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jika ada yang mengetahui, namun tidak melaporkan terjadinya tindak pidana Korupsi tersebut, dapat dijerat Pasal 221 ayat (1) KUHP tentang “Obstruction of Justice”, dengan ancaman pidana penjara 9 bulan. Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 21 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ancaman Hukum bagi pejabat pemerintah yang terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi atau orang lain dapat dijerat Pasal 12B ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, dengan ancaman penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan denda maksimal Rp. 1 miliar. Hal tersebut juga sejalan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN dan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
Masyarakat Meranti sebagai bagian dari NKRI yang selalu didengungkan sebagai Negara yang menjadikan Hukum sebagai Panglima, masih terus bermimpi dan berharap adanya secercah harapan akan penegakan hukum yang tidak tebang pilih bagi siapapun yang melakukan pidana korupsi agar adanya efek jera bagi si pelaku sehingga meminimalisir terjadi lagi dikemudian harinya. Jika aparat penegak hukum tidak melaksanakan fungsi dan kewajiban mereka sesuai amanat UU, patut diduga adanya upaya pelemahan terhadap hukum itu sendiri dan adanya praktek “Obstruction of Justice” oleh institusi penegak hukum sendiri yang melawan aturan perundangan yang berlaku.(Lindo)
Dikutip dari
suaralira.com